Rabu, 29 Februari 2012

Kelabu -Cerpen-

Diposting oleh Sinta Ayu di 06.34

(kisah setengah nyata dan banyak fiktifnya dari kehidupan saya)
    Lantunan ayat-ayat Allah merdu menyejukkan pendengaran. Pujian-pujian atas keagungan-Nya menyebar, melambung menembus lapisan dunia. Kumandang adzan maghrib pertanda masanya melepas lapar dan dahaga. Nuansa di bulan suci yang selalu dirindukan umat islam. Tepat sebelum imsa’ tiba, terdengar tartil surat An-Nisa’. Ku ketahui dari buah bibir para ibu kemarin sore, rupanya sang Qori’ tak lain adalah penghuni gedung yang sudah lama dibiarkan tak terurus yang masih bertahta di sudut jalan Panglima, gedung milik pak Ahmad. Pengeras suara masjid seolah memperkenalkan seantero perumahan yang kini jadi tempatku bernaung bersama ayah dan ibuku. Suara yang menggetarkan hati yang membuatku penasaran. Ibuku saja terbuai, apa lagi diriku ini?
    Hari itu, aku melakukan ritual mensucikan diri dari hadatsnya sesuatu yang sudah menjadi kodrat kaum hawa. Malam, sesuatu yang sangat kunanti-nantikan kehadirannya untuk memulai ibadah tarawih dan tadarus di bulan Ramadhan tahun ini, di sebuah masjid tua yang masih sangat gagah. Ku mulai bermain syahdu bersama semilir angin surga yang berbisik indah dari sumber pengeras suara, mendesahkan nafasku yang sedari tadi melantunkan ayat Allah. Tadarus selalu ku rutinkan jika aku tak berhalangan. Sesaat setetelah ku pijakkan kakiku di beranda masjid, suara indah bak misteri itu kudengar lagi. Serentak ku palingkan mukaku ke arah sumber suara itu. Ku dapati sosok yang belum ku kenal dari celah-celah jendela masjid. Hanya ku perhatikan dirinya bersenandung. Lalu, aku melangkah lagi.

         Muhammmad Azizi, nama sang Qori’ yang selalu mewarnai Ramadhan tahun ini. Dia adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir. Ta’arufku bermula dari sebuah sapaan ramah darinya. “Assalamu’alaikum, dik. Subhanallah suara adik sangat merdu. Saya sengaja nunggu disini sampai adik selesai tadarus. Maafkan saya kalo adik pikir saya lancang. Saya cuma pengen cari temen. Saya pendatang baru disini”. Terlalu banyak pembukaan untuk sebuah perkenalan, pikirku. Tanpa banyak tanggapan, aku hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan yang diajukan sedapatnya. Sosok yang alim nan tampan itu akhirnya menjadi temanku. Untuk saat ini, ia sedang liburan semester sehingga ia singgahi gedung milik pamannya itu. Sedikit banyak aku mengenal mas Azi. Bukan karena ketampanannya yang memaksaku mengatakan “dia makhluk istimewa”, tapi senandung ayat Al-Qur’an yang dibacakan olehnya juga kesopanan yang terbalut di setiap kami bertatap muka. Kami lukis tiap hari dengan indah hingga tak merasakan bahwa kejayaan Ramadhan tahun ini berakhir.

             Seminggu seusai lebaran, ia berniat untuk pamit padaku karena ia harus menuntut ilmu kembali di negeri Timur Tengah. Dia menemuiku. Aku tak menduga pula dia menyatakan cinta padaku dan serius untuk menjaga hatiku. Selamat datang cinta di hatiku, kusambut hadirmu… Denyut cinta itu menginjeksi segala rasa, tubuhku kaku. Memang telalu cepat, tapi tak ada alasan untukku menolaknya. Dia tersenyum, aku bahagia. 
Orang pertama yang ku beri kabar ini adalah ibuku. Beliau sangat girang, berharap kelak akan ada undangan pernikahan betuliskan nama “Nada As-syifa” dan “Muhammad Azizi”. Aku masih duduk di bangku SMA kelas X. Aku juga masih ingin melanjutkan studiku ke jenjang lebih tinggi. Jadi, masih terlalu jauh untuk membahas masalah nikah.
Ku tatap bentangan angkasa, ku lambaikan tanganku ke arah pesawat yang kebetulan melintas. Seolah disana ada mas Azi yang lagi melihat aku berlaku layaknya anak kecil. Laptop merahku ku buka, kubaca sebuah email dari mas Azi dan langsung ku balas. Kami saling memberi kabar lewat dunia maya. Aku mencurahkankan bahagiaku juga keluh kesahku padanya. Dia pun berbagi beribu bendel referensi penuh hikmah. Dia selalu menyalurkan energi positif yang disampaikan pada gelombang, lalu masuk ke dalam raga ini. Tak pernah ku dengar keluhan darinya. Begitu bijaksana, pembawa kedamaian hati. Tak bisa di pungkiri, kembang rindu tumbuh di antara kita.  
        Sudah satu tahun hubunganku dengan mas Azi ku jalani, sudah satu tahun ku rasakan keutuhan sebuah keluarga dan satu tahun ini sketsa mendung mulai muncul. Klimaks pertengkaran ibuku –Aisyah– dan ayahku –Ridho– sangat membuatku terpuruk. Sebuah mimpi paling buruk bagiku saat aku harus kehilangan ayahku lagi, ayah Ridho setelah ayah kandungku ayah Andi. Ibu bercerita hingga derai air matanya membuatku terhanyut oleh arus deras sungai derita. Aku bisa menyelami segala terpaan dari mata ibu yang sayu. Semua janji-janji ayah, kata cinta yang dibiaskannya, hanya manis di bibir saja. Kekayaan menjadi tujuan utama ayah untuk menikahi ibu. Harta telah membutakannya. Lontaran fitnah dan caci maki ayah Ridho kepada ibuku sangat menyayat hati, aku tak bisa terima. Aku merangkul tubuh ibu, penuh kehangatan. Ibu mengatakan akan bercerai dengan ayah. Mimpiku untuk berada di keluarga yang utuh harus ku kubur kembali. Tangisan ini tak seberapa dibanding sakit hati ibuku. Ibu merasa bersalah padaku. Ku besarkan hatinya agar ia tetap menjadi pondasi. Kalau pondasi itu roboh, harus kepada siapalagi aku harus bertopang? Detik itu juga, aku menghujat kejahatan-kejahatan ayah tiriku dalam batin. Pertanda protesku pada keadaan.
Kembali ku jalani hidup hanya bersama ibuku. Aku nikmati semua ini. Tak hentinya aku bersyukur pada Allah karena masih ada ibu dan mas Azi yang selalu membuatku ingin tetap hidup. Berharap tak akan ada spasi antara aku dan mereka, bukan seperti halnya kedua ayahku.  
          Tetesan air langit mulai memercik di dasar karpet rumput hijau depan rumahku. Aku bersandar di kaca jendela, mengingat semua tentang ayah Andi juga ayah tiriku yang telah meninggalkanku dan ibu delapan bulan yang lalu. Suara badai kecil bersamaan dengan sentuhan tangan ibu di pundakku seirama, sangat membuatku kaget kuadrat. Ku tatap wajah ibu pucat pasi, sesak nafasnya membuatku kacau. Ibu memejamkan mata perlahan lalu jatuh di pelukanku yang saat itu sedang berdiri di dekat jendela kamar. Aku panik. Ku rebahkan badan ibu di kasurku. Aku menangis sejadinya, mengoyak tubuh ibu yang sangat dingin dan berkeringat. Ibu tak juga membuka matanya. Aku berpikir yang tidak-tidak. Aku tak menginginkan sesuatu buruk terjadi. Tanpa pikir panjang, aku menelepon rumah sakit tempat ibu biasanya dirawat.
Kini aku berada di mobil ambulance, duduk di samping ibu yang sedari tadi terbaring. Oksigen dari tabung itu terus mengalir melalui lubang hidung ibu. Ku coba memegang tangannya, sangat dingin dan lunglai. Tak ada denyut nadi yang terasa. Ku coba mendekap tubuhnya, tak ada irama detak jantungnya. Aku mulai memejamkan mata dan ku dapati tetesan bening mengalir dari sudut mataku. Suara sirine menghantarkan hingga sampai di rumah sakit. Dokter spesialis ibu memberitahuku bahwa ibu terkena serangan jantung. Ada sesuatu yang mengejutkan hingga membuatnya susah bernafas, jatungnya pun tak bisa berkompromi. Aku terbujur kaku, ku damparkan tubuhku pada dinding rumah sakit itu. Ibuku tak bernyawa lagi, diminta oleh sang pemilik jagat ini. Jerit tangis mengisahkan deritaku yang bertubi. Dokter meneguhkan hatiku agar tetap bersabar. Aku sangat sedih karena ibu tak beramanat apapun padaku. Aku menyesal, belum sempat ku sampaikan kata “Aku cinta ibu” untuk yang terakhir kalinya. Aku belum bisa membahagiakannya.
          Ku layangkan berita duka ini pada kerabatku, tetanggaku, teman-temanku, guruku juga ayah-ayahku. Ayah? Bahkan kedua ayahku itu berkata, “Aku tak peduli”. Seperti piring pecah yang tak akan pernah bisa disatukan lagi, itu perumpamaan diriku saat ini. Mereka benar-benar tak punya hati. Bibiku memelukku erat mengetahui hal itu, “Sabar ya, Nada sayang”. Sore ini tetap abu-abu. Seperti aku yang tak jelas hitam putihnya. Sungguh, aku benar-benar sangat rapuh. Sesaat setelah sholat jenazah selesai, ku hantarkan jasad ibu bersama kerumunan orang yang hadir saat itu menuju peristirahatan terakhirnya. Do’a-do’a ku panjatkan untuknya. Selamat jalan ibu.. Ada dan tiada dirimu kan slalu ada di dalam hatiku…
                                                                                    ***
Esok harinya, baru ku beri kabar pada mas Azi. Sebenarnya aku tak mau mengusiknya karena saat ini dia menghadapi ujian. Berhubung hati ini tak karuan, ku putuskan untuk mengirim sebuah email ber-subject “berita duka” padanya. Beberapa menit kemudian sebuah email balasan darinya muncul di inbox.


From : zi_bulan@gmail.com
To : nada_bintang@gmail.com
Subject : Jangan menangis sayang
Nada bintangQ, semua orang akan menemui ajalnya. Semua orang harus siap
untuk di tinggalkan. Kita hidup untuk mati. Kita bertemu untuk berpisah.
Yg jadi kewajiban Nada sebagai anak yg sholihah adalah selalu mendo’akan
ibu mertuaQ . Meskipun ibu dah ga ada, Nada harus tetep berbakti ya?
Mas zi disini juga akan slalu do’ain ibu, do’ain Nada juga. Mas udah kelar
ujian so mas mau pulang ke Surabaya beberapa hari kedepan, mau jenguk
NadaQ. Tunggu mas yah sayang?
Yang lagi kangen sama Nada, Azizi.



Aku tersenyum membaca email dari mas Azi. Keburamanku sedikit terhapuskan. Bibiku lega bisa melihatku senyum 112 –1 cm ke kanan, 1 cm ke kiri selama 2 menit–. “Lesung pipimu akan menyejukkan ibumu, nduk”, ucap bibiku seraya mengharapkanku untuk selalu mengumbar senyum ini. Aku memeluk bibiku, menceritakan segalanya tentang kehidupanku. Lalu kami senandungkan sholawat. Ada sedikit cahaya untuk hari ini.
                                                                                    ***
                   Menghindari senja, aku pun harus bertemu dengan senja itu. Aku menunggu mas Azi yang akan segera datang, yang ku harapkan bisa membuyarkan keredupan ini. Entah mengapa aku gugup, rasa was-was selalu menghantui. Penantianku terjawab sudah setalah paman mas Azi mengabarkan bahwa ia tak akan datang. Ya, mas Azi tak akan pernah datang lagi. Kecelakaan pesawat dari Timur Tengah menuju Indonesia itu menewaskan seluruh makhluk di dalamnya, temasuk mas Azi. Aku tecengang. Lidah tak bertulang ini mati rasa. Air mataku hampir habis rasanya. Mengapa yang ku lalui seperti ini jadinya? Begitu berat, sangat berliku, sakit bertubi-tubi. Hati ini mengeluh lelah, fikiran tak lagi kembali normal, ingin berontak atas semua yang terjadi, ingin akhiri hidup ini. Kesedihan yang bertumpuk masih membekas dan susah dihapus. Tubuhku tak kuasa menerima kenyataan. Kenyataan aku tak akan pernah punya ayah, ibuku meninggal dan sosok menantu idaman ibu –mas Azi– tak kan pernah hadir dalam hidupku untuk selamanya. Sekarang aku mengerti maksud dari kata mas Azi, “Kita bertemu untuk berpisah”.
                  Penderitaan dan sakit batin yang sempurna. Harapan untuk bahagia tidak ada. Kisah ini melelapkanku dari garis kehidupan yang sepertinya miris. Batin penuh sesak akan carut-marut daun keringku yang tiap harinya hinggap. Hujan deras hidupku tak kan reda. Panjatan do’a tetap terjaga di tiap hembusan nafas yang meneduhkanku. Berharap datangnya secercah cahaya. Kurindui hadirnya pelangi yang mampu mengusap derasnya hujan ini. Ku yakin, semua akan indah pada waktunya. Karena Allah selalu bersamaku.

 

Chin's Blog Cantique Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea